Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Selanjutnya UUD NRI 1945 merupakan Hukum terteninggi dalam konsep negara hukum (Primary Law), Menurut F.J. Stahl, kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Negara hukum adalah 1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan kekuasaan Negara; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Adanya Peradilan Administrasi.
Dengan adanya empat ciri negara hukum menurut sthal pada poin ke 2 (dua) menyatakan ciri negara hukum tersebut adalah adanya pemisihan kekuasan. Berbicara pemisahan kekuasaan tentu kita tidak bisa melpaskan diri konsep Trias Polica yang di usung oleh Mostesque. Dalam konsep pemisahan kekuasaan Trias Politica kekuasaan dalam suatu negara di bagi menjadi 3 (tiga) elemen, 1. Kekeuasaan Eksekutif, 2. Kekuasaan Legislatif, 3. Kekuasaan Yudikatif. Pemisahan ini menurut Mostesque ditujukan agar tidak ada kekuasaan yang semena-mena dari negara. sejarah telah membuktikan kuasaan yang terlalu besar akan menjadikan bencana kepada sebuah bangsa dan negara, belum kering tinta sejarah mencatat bagaimana Raja Louis XVI beserta istrinya Pada 20 Januari 1793, Raja Louis XVI dinyatakan bersalah dengan dalih pengkhianatan. Ia dijatuhi hukuman mati dan di Penggal kepalanya dihadapan rakyat Perancis. Hal ini disebabkan kekuasaan yang begitu besar pada raja Loius XVI yang membuat dirinya lepas Kendali (Out Of Control ), sehingga memimpin dengan cara-cara otoriter. Raja Louis XVI menindas rakayatnya sendiri sehingga melahirkan pemberontakan oleh rakyatnya. selanjutnya semua rangakaian peristiwa ini menjadi ihwal atau sebab terjadinya revolusi di Perancis.
Terkait dengan itu dengan konsep trias politica untuk menghindari kekuasaan yang terlalu besar yang dimiliki negara, sehingga kekuasaan dalam sebuah negara harus di bagi eksekutif berfungsi untuk menjalankan perintahan, legislatif sebagai manifestasi suara rakyat dengan kewenagan, Pengangaran,Pengawasan dan Legislasi. Selanjutnya untuk memilih Eksekutif dan Legislatif dibutuhkan mekanisme ketata negraan yang legal dan konstitusional untuk memilih eksekutif dan legislatif, dalam konteks negara Indonesia hal ini yang disebut dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Dasar hukum pemilu sendiri adalah ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Selanjutnya Perintah Undang Undang Dasar ini diturunkan menjadi norma khusus (Lex Specialis) menjadi UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pemilu merupakan momentum suksesi di Indonesia karena momen ini merupakan momen yang krusial dan kontitusional menenutukan arah nasib negara dan warga negara Indonesia itu sendiri. Namun persoalan klasik kembali muncul setiap medekati tahun politik ini diantaranya masih bersoal dan berkutat tentang data pemilih yang belum valid dan ini merupakan persoalan klasik, berikutnya tingkat partispasi pemilih yang belum maksimal , setrusnya yang paling mengkhawatirkan adalah pertumbuhan pemilih yang cerdas dan rasional, karena ini derdampak lurus kepada pemahan apa dasar pertimbangan seseorang memilih sebuah partai poltik atau seorang calon legislatif baik tingkat Pusat, Provinsi serta Calon Legislatif tingkat Kota Kabupaten. Banyak variabel yang menyebabkan tidak bertumbuhnya (Growth) pemilih yang cerdas dan rasional diantaranya, kesadaran politik yang masih rendah, mesin partai politik yang mandul yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat secara simultan untuk memberikan pemahaman politik yang cerdas serta rasional kepada masyarakat, menurut R. Hajer mendefinisikan “pendidikan politik adalah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik”. Persoalan berikutnya adalah budaya masyarakat (behaviour) itu sendiiri yang sudah tercemar dengan budaya pemilu yang tidak sehat dari pemilu itu sendiri seperti poltik uang (Money Politic).
Sudah menjadi rahasia umum jika disaat pemilihan legislatif baik di tingkat Pusat,Provinsi, Kota dan Kabupaten ada dogma bahwa seorang calon legislatif (caleg) harus punya uang yang besar untuk mendapatkan suara agar terpilih menjadi anggota legislatif dengan jalan pintas, disisi lain konstituenpun berfikir kelak yang terpilih juga tidak kenal dengan pemilih jadi yang dipilih adalah yang mau juga berkorban buat mereka di awal dan itu di ukur dengan uang. Hal yang ini diperparah bahwa konstiuen terakhir akan memilih kandidat yang memberikan uang yang terbesar dan tidak lagi melihat rekam jejak seoarang Caleg apalagi untuk mempejari Visi dan Misi seoarang Caleg mereka tidak punya kemampuan analisis Kritis dan problematis dan tersistematisasi. Dengan persoalan yang sudah komplikasi ini tentulah bukan persolan yang sederhana untuk mengurai kembali untuk menjadi normal dan on the track di lajur budaya demokarasi yang sehat (a Healthy Democratic Culture).
Dengan segelintir persoalan yang kasat mata didepan kita semua ini tentulah kita tidak mengharapkan pesta demokrasi kelak hanya menjadi rutinitas belaka saja, tidak kita jumpai ada esensi demokrasinya selanjutnya juga tidak ada nilai tambah (edit Value) dari masa kemasa setiap pegelaran politik di Indonesia, keadaan ini juga menjalar ke daerah. Butuh kesadaran dan kecerdasan semua pemangku kepentingan (stakeholder) juga mindset pemilih harus dirawat dan dipupuk akal sehatnya. Selanjutnya partai politik juga harus bertanggung jawab untuk mencerdaskan akal sehat masyarakat, bukan seperti yang selama ini partai politik peserta pemilu hanya mesra dengan masyarakat ketika telah masuk tahun politik. Menurut Dr. Yudi Widagdo Hari Murti dalam bukunya Negara Hukum Dan Demokrasi “Rakyatlah yang menetukan masalah Pokok Kehidupannya, termasuk kebijkan Negara dan itu artinya negara bertindak atas persetujuan Rakyat”, dari sini dapat diartikan rakyat mempunyai posisi yang strategis untuk memainkan peranannya walaupun faktanya saat sekarang rakyat belum sepenuhnya seperti apa yang di harapkan baru sebatas partai politik mendulang suara bukan tempat mendulang ide dan pemikiran pemikiran pembaharuan.
Senada dengan itu untuk menjadi bangsa yang besar harus berfikir yang besar berjiwa besar agar Indoseia semakin hari tumbuh menjadi bangsa yang besar yang disengaini oleh negara -negara di regional di Asia Tenggara dan memainkan peranan stragis di dunia internasional juga ini koheren dengan kualitas demokrasinya yang bertumbuh juga rasionaitas pemilihnya dalam menentukan pemimpin pemimpinya. Janganlah kita lupa bahwa ada Persaingan internasional yang harus Indonesia ikut dalam percaturannya tanpa pemimpin yang kuat dan berkarakter dan nasionalime yang tinggi dan tidak mampu bersaing di forum internasional dikawhatirkan Indonesia hanya menjadi bangsa penonton dalam pecaturan politik intersional dan dari sisi ekomomi hanya menjadi negara pengkomsumsi bukan menjadi negara yang memproduksi. Jika kita menjadi bangsa yang lemah kita akan dimangsa oleh bangsa lain hal ini selaras dengan apa yang di sampaikan oleh Thomas Hobbes “Homo Homuni Lupus”, manusia adalah srigala bagi manusia lainnya.
Referensi:
Undang-undang
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang No 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Buku:
Dr. Yudi Widagdo Harimurti SH.MH, Negara Hukum dan Demokrasi
Dr. Tundjung Herning Sitabuana, Hukum Tata Negara Indonesia
Dr. Shidarta,Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Discussion about this post