Jakarta, ON – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendorong belanja pemerintah untuk menangani Covid-19 dan mengakselerasi perbaikan ekonomi. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sisa anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah mencapai Rp 1.000 triliun. Sebanyak Rp 598 triliun di antaranya bersumber dari anggaran pusat, sedangkan sisanya merupakan sisa kas daerah yang belum terpakai.
“Kita berharap, angka lebih dari Rp 1.000 triliun itu dapat menjaga momentum pemulihan ekonomi yang sudah mulai tampak pada kuartal ketiga,” tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (1/12).
Pemerintah menetapkan pagu anggaran belanja negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbaru yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72/2020 sebesar Rp 2.739 triliun.
Sri memproyeksikan, sampai akhir tahun, realisasi belanja negara hanya akan berada di level 96,4 persen. Sedangkan, penyerapan sampai dengan Oktober mencapai Rp 2.041,8 triliun. “Artinya, ada Rp 598 triliun yang akan tereksekusi pada dua bulan terakhir, November dan Desember,” katanya.
Sementara itu, penyerapan kas daerah sudah mencapai 62,77 persen. Dari pagu belanja dalam APBD penyesuaian yang mencapai Rp 1.080 triliun, realisasinya mencapai Rp 678 triliun. Artinya, masih ada sisa Rp 402 triliun yang dapat digunakan pemerintah daerah untuk mengeksekusi berbagai program pada dua bulan terakhir
Belanja pemerintah diharapkan dapat menggerakan roda ekonomi ketika konsumsi masyarakat melemah. Pandemi Covid-19 telah menekan daya beli masyarakat yang tercermin dalam pergerakan inflasi. Sri memproyeksikan, inflasi tahunan pada 2020 hanya akan berada di level 1,5 persen.
Menurut Sri, realisasi tersebut menggambarkan permintaan yang masih melemah akibat adanya pandemi Covid-19. “Outlook 2020 kita perkirakan inflasi 1,5 persen, sangat rendah dalam enam tahun terakhir,” tuturnya.
Sri menegaskan, pemerintah akan fokus memulihkan sisi permintaan masyarakat dan menentukan area yang harus diperbaiki untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi inti pada November 2020 berada di level 1,67 persen dibandingkan tahun lalu atau year on year (yoy). Angka inflasi inti tersebut menjadi yang terendah dalam 16 tahun terakhir.
Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto mengatakan, penurunan inflasi inti sudah terjadi sejak Maret 2020 atau ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pandemi Covid-19. Meskipun sempat pulih pada Agustus sebesar 0,29 persen, komponen inflasi kembali turun hingga bulan lalu.
Secara keseluruhan, BPS mencatat, inflasi pada November berada di level 0,28 persen bulan ke bulan dengan inflasi tahun kalender mencapai 1,23 persen. Secara tahun ke tahun, tingkat inflasi sebesar 1,59 persen.
Merujuk catatan BPS, ini menjadi inflasi kedua kalinya setelah Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan berturut-turut sepanjang Juli sampai September.
Setianto mengatakan, inflasi bulan lalu terutama dikarenakan kenaikan harga daging ayam yang memberikan kontribusi 0,08 persen. Telur ayam ras dan cabai merah mengalami kenaikan harga dan menyumbang inflasi sebesar 0,04 persen. Sementara bawang merah memberikan andil 0,03 persen.
Kenaikan harga komoditas itu menyebabkan kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami inflasi 0,86 persen pada bulan lalu. Kontribusi kelompok ini terhadap inflasi pun sangat signifikan, yaitu hingga 0,22 persen.
Meski sedang dilanda penurunan daya beli, industri manufaktur Indonesia mulai menunjukkan geliat ekspansi. Hasil survei IHS Markit Purchasing Manager Index (PMI) terbaru menunjukkan peningkatan baru pada kondisi manufaktur Indonesia selama November 2020.
PMI Manufaktur Indonesia naik hampir tiga poin dari 47,8 pada Oktober menjadi 50,6 pada November. Ini menunjukkan perbaikan kesehatan di sektor tersebut untuk pertama kalinya sejak Agustus.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan, perpindahan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ke PSBB transisi memberikan dorongan bagi sektor manufaktur Indonesia pada pertengahan kuartal keempat. “Data PMI menunjukkan peningkatan kondisi bisnis selama November,” ujarnya.
Kenaikan ini, kata dia, sebagian besar didorong oleh kenaikan rekor tertinggi produksi di tengah pembukaan kembali pabrik dan peningkatan permintaan. Ia menambahkan, permintaan baru juga kembali meningkat, meskipun laju peningkatan masih pada kisaran terbatas. (HAB)
Discussion about this post