Jambi, otodanews.com – Pengaturan penyelesaian sengketa konstruksi melalui dewan sengketa di Indonesia belum mencerminkan perwujudan nilai kepastian hukum, karena pengaturan penyelesaian sengketa konstruksi melalui Dewan Sengketa tidak diatur secara lengkap dan tegas dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, yang ditunjukkan dengan adanya ketidakpastian hukum terhadap kedudukan Dewan Sengketa.
Hal itu dikatakan Dr Muhammad Syayuti SH, M.Kn pada disertasi sidang promosi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jambi, Telanai Pura Kota Jambi, 4/7/24.
Didepan Tim Penguji Dr Usman SH, MH, Prof Agus Yudha Hernoko SH, MH, Prof Dr Helmi SH, MH menguraikan, merupakan alternatif pilihan penyelesaian sengketa dari para pihak, serta ditunjukkan dengan tidak adanya pengaturan terhadap hukum acara dalam penyesaian sengketa yang dilakukan oleh Dewan Sengketa, sehingga dalam penyesaian sengketanya diberlakukan hukum acara sesuai dengan kesepakatan dan kehendak dari para pihak bersama sama dengan Dewan Sengketa.
Muhammad Syayuti yang didampingi anggota keluarga Haironi (Isteri), Intan Oktafiani S.Kom, MT (Anak), apt Rosa Afriliani S.Fam (Anak), Zahra Maharani (Anak), melihat ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Nomor 11 Tahun 2021, telah diberikan pengaturan bahwa yang dimaksud dengan sengketa adalah konflik formal yang diajukan melalui Pemberitahuan kepada Dewan Sengketa terhadap klaim atau hak yang diajukan oleh pengguna jasa dan/atau penyedia terhadap pihak lain. Tandasnya didepan penguji Prof Johni Najwan SH, MH, Ph.D, Prof Dr Sukamto Satoto SH, MH, Dr Hj.Muskibah SH, M.
Hum, Dr Dwi Suryahartati SH, M.Kn, Dr H Taufik Yahya SH, MH dan Dr Rosmidah SH, MH yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk meninjau, mengoreksi dan memberikan kritik, saran serta kontribusinya sehingga menambah wawasan baru bagi Syayuti dalam meningkatkan kualitas penelitian.
Apabila penyelesaian sengketa dimaknai sebagai lembaga menurut Syayuti, dapat ditelaah bahwa untuk menyelesaikan sengketa dimasyarakat terdapat tiga lembaga yakni: Lembaga sosial diluar pengadilan, lembaga pengadilan dan lembaga lain yang dibentuk menurut undang undang.
Selanjutnya bilamana penyelesaian sengketa dimaknai sebagai proses, berarti bahwa setiap orang yang bersengketa berhak untuk melalukan perdamaian dengan cara dan konsep apa saja termasuk menggunakan konsep mediasi, baik ketika menghadapi suatu perkara di pengadilan maupun ketika sengketa tersebut masih terjadi di luar pengadilan.
Syayuti yang lahir di Jambi 3 Juli 1974 menguraikan, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan pengaturan berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam posisi pengaturan yang demikian ini, maka peraturan Presiden ini hanya akaan diberlakukan ketika pihak pengguna jasa Konstruksi adalah merupakan pemerintah. Karenanya, terhadap perjanjian Jasa Konstruksi yang dibuat oleh para pihak yang merupakan pihak swasta, maka dengan sendirinya pengaturan terhadap perjanjian Jasa Konstruksi yang disepakati oleh para pihak dapat tidak dilandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021.
Pada sidang promosi Doktor Ilmu Hukum, pengaturan penyelesain sengketa konstruksi melalui Dewan Sengketa di Indonesia yang tidak didasarkan pada nilai kepastian hukum, menurut Syayuti akan memberikan sejumlah dampak negatif yaitu meliputi: Ketidakpastian, tidak adanya kepastian hukum acara penyelesaian sengketa, putusan dewan sengketa cenderung didasarkan pertimbangan subjektif, kecenderungan terjadinya penyalahgunaan, ketidak percayaan kepada sistem.
Menurut Syayuti, ketika dewan sengketa dalam kedudukannya tersebut telah direkomendasikan untuk dilakukan rekonstruksi kedudukan atas Dewan Sengketa sebagai pengadilan khusus, maka perlu dilakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap kedudukan Pengadilan Khusus dalam sistem peradilan di Indonesia, serta kajian apakah dimungkinkan adanya pengadilan khusus berkaitan dengan penyelesaian sengketa konstruksi ini.
Apabila dilihat pada lingkup kehendak pengkhususan, maka dapat diidentifikasi bahwa adanya suatu bentuk pengkhususan terhadap peradilan ini adalah berada pada lingkungan peradilan umum, karena yang dikhususkan hanya terhadap perkara perdata, yang dilihat dari lingkungan peradilannya termasuk pada peradilan umum. Namun demikian, adanya pengkhususan disini tidak melahirkan bentuk badan baru yang berada dilingkungan peradilan umum, sehingga tidak dikenal adanya suatu pengadilan khusus yang berdiri sendiri secara struktural dilingkungan peradilan umum.
Ditambahkan Syayuti, konsep ideal penyelesaian sengketa konstruksi melalui Dewan Sengketa yang berbasis nilai kepastian hukum adalah dilakukan dengan memposisikan kedudukan Dewan Sengketa sebagai Pengadilan Khusus yang diberikan kompetensi mengadili terhadap sengketa konstruksi yang terjadi dalam perjanjian jasa konstruksi. Dalam rangka mewujudkan kedudukan Dewan Sengketa sebaga
i Pengadilan Khusus maka wajib dilandaskan pada konstruksi nilai filosofis, konstruksi peraturan perundang undangan, dan konstruksi struktur kelembagaan Dewan Sengketa.
Syayuti yang meraih nilai 3,70 dan predikat sangat memuaskan maka beliau menyarankan, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap peraturan perundang undangan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa konstruksi melalui Dewan Sengketa. Perlu dilakukan pembentukan Undang Undang tentang pengadilan konstruksi atau Dewan Sengketa yang memiliki kedudukan sebagai Pengadilan Khusus. Perlu dilakukan konstruksi kelembagaan Pengadilan Konstruksi atau Dewan Sengketa sebagai Pengadilan Khusus yang berada dilingkungan peradilan umum dan berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. (Regar)
Discussion about this post