Arus globalisasi telah menyeret dan menjebak pemikiran mahasiswa, membawa paham hedonisme, individualisme, dan konsumerisme masuk kedalam pikiran dan tindakan mereka. Dewasa ini secara sadar maupun tidak sadar manusia telah menirmanusiakan manusia itu sendiri, begitupun dikalangan mahasiswa. Lihat saja bagaimana mahasiswa terobsesi dengan style yang terus menerus berganti tanpa ada hentinya dan secara masif mencetak mahasiswa yang labil, tidak percaya diri, dan mengekor pada trend. Rela mengorbankan segalanya seakan-akan mereka lahir hanya untuk mengejar kesenangan.
Citra mahasiswa sebagai Agent of Sosial Control telah tercoreng dengan pemikiran dan sikap “Hedonisme” sebagian kalangannya. Hedonisme merupakan budaya yang sangat meracuni pikiran dan cara berperilaku mahasiswa saat ini. Hal ini seakan telah menghilangkan esensi dari mahasiswa itu sendiri, yang terpenting menurut mereka adalah kuliah sekedar untuk mendapatkan hal-hal yang pada akhirnya hanya untuk kesenangan jasmani mereka saja.
Kita dapat menyimpulkan bahwa hedonisme mahasiswa mengarah kepada eksistensi semata, hanya untuk tetap eksis dan menjadi pusat perhatian dengan mengikuti budaya hedonisme yang pada akhirnya akan menguntungkan para kapitalis yang berinvestasi dalam pemenuhan kebutuhan hedonisme manusia khususnya kalangan mahasiswa.
Manusia itu rakus!
Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation menegaskan bahwa pada dasarnya manusia memang memiliki sifat rakus, tamak, dan individualis. Namun kiranya pemahaman tersebut sangat bertentangan dengan pemahaman umum yang memandang manusia adalah makhluk sosial. Sifat individualis dan hedonisme akan terus menyerang sendi-sendi kehidupan mahasiswa. Idealnya mahasiswa dengan citranya sebagai Agen of Social Control harus mampu berpikir lebih kritis, lebih mendalam terkait dengan gejala-gejala sosial yang terjadi disekitarnya, bukan malah ikut terseret arus besar hedonisme.
Mengutip apa yang dikatakan oleh legenda mahasiswa, Soe Hok Gie. Dia mengatakan “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku lebih memilih untuk merdeka”. Sebelumnya kita harus bersepakat bahwa merdeka dalam konteks kali ini adalah merdeka dari paham Hedonisme akut yang menyerang pemikiran mahasiswa.
Organisasi mahasiswa saat ini dihadapkan dengan musuh besar, musuh yang juga merupakan penyakit seperti yang telah dijabarkan secara singkat di atas. Seakan sudah menjadi mindset bahwa ada beberapa organisasi yang prestisius, bergengsi, dan sempurna untuk menunjang eksistensinya. Salah satunya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), dari namanya saja “Eksekutif” sudah mengarah kepada label elit, sebuah posisi penting dan kekuasaan yang membawa anggotanya menuju popularitas. Malah pada akhirnya hanya akan menjadi sasaran pemuas hasrat para hedonis pengejar eksistensi yang bisa mengikis esensi dari organisasi itu sendiri.
Lalu bagaimana hedonisme dalam organisasi?
Saya akan coba mengilustrasikan perihal eksistensi dan esensi dalam bentuk sangat sederhana. Sebut saja ada sebuah makanan ringan dalam kemasan bermerek “Supreme”. Eksistensi bisa dianalogikan sebagai kemasan, dan mereknya. Sedangkan Esensi bisa dianalogikan sebagai isi dari makanan ringan tersebut. Apabila mahasiswa lebih memilih eksistensi sebagai tujuan utamanya. Maka yang didapatkan hanyalah sebuah bungkus kosong dengan kemasan mewah bertulisan “Supreme”. Sedangkan apabila mahasiswa memilih esensi, maka yang tercipta adalah sebuah makanan ringan dengan kemasan yang sederhana tapi memiliki kualitas tinggi.
Sebagai mahasiswa dalam bingkai organisasi, mana yang harus didahulukan?. Eksistensi yang mengejar popularitas, atau esensi yang mengemban visi dan misi awal hingga tercapai tujuan yang hakiki?. Semua itu tergantung dari pemikiran dan tindakan mahasiswa itu sendiri. Dalam kubangan besar hedonisme dan eksistensi dikalangan mahasiswa, organisasi harus berpikir ulang tentang esensi inti dari organisasi. Mari kesampingkan dulu tentang Planning,Organizing, Actuating, dan Controlling. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu semua. Ini tentang kesadaran, kesadaran kita dalam berorganisasi sangat dan harus diutamakan. Kenapa berorganisasi?, Apa yang ingin kita capai?, Apa tujuan awal? Visi dan Misi?. Dan akhirnya, apakah kita ingin esensi atau eksistensi?
Organisasi mahasiswa, eksistensi atau esensi?
Organisasi didefinisikan sebagai kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama. Maka dari itu tujuan dari berorganisasi harus jelas dan terarah. Penyatuan visi dan misi yang kemudian dituangkan dalam kegiatan kegiatan untuk melayani kebutuhan yang lebih nyata. Menyelesaikan masalah yang lebih esensial pada tatanan kebangsaan dan tatanan almamater. Tatanan alamamater yang mencakup Tridharma perguruan tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Masyarakat.
Bukan hanya Kesenangan, Kesenangan , dan Kesenangan. Kita semua sepakat bahwa berorganisasi adalah sarana pembelajaran yang menunjang , diluar ruang kuliah. Namun sejatinya organisasi hanyalah sebuah barang mati, kecuali ada orang orang yang aktif ingin memberikan nafas dan nyawa bagi organisasi tersebut.
Buang jauh-jauh pemikiran usang bahwa organisasi adalah tempat untuk refreshing. Lebih dari itu, organisasi adalah tempat belajar banyak hal dalam hidup. Kita tidak lagi memiliki ruang yang cukup untuk menonjolkan ego pribadi saja karena masih banyak ego dari pribadi yang lain. Sehingga membendung hasrat pribadi adalah hal yang wajib hukumnya dalam organisasi.
Perbaikan persepsi
Dari sinilah kita bisa “menaklukan” hedonisme yang mengerikan tersebut. Mungkin kondisi ini memunculkan sebuah kontradiksi dimana Organisasi yang sebelumnya dianggap sebagai tempat untuk memuaskan hasrat para hedonis nyatanya juga bisa menjadi langkah awal yang sempurna untuk menaklukan hedonsime tersebut. Semuanya tergantung bagaimana mahasiswa-mahasiswa memberikan nyawa kepada organisasinya.
Perbaikan persepsi adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Belakangan kita kerap kali menempatkan kuliah dan Organisasi sebagai sesuatu yang berseberangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa organisasi akan menyita waktu untuk kuliah. Dan tentu saja kita tidak bisa berharap akan menjalani kuliah seperti biasa dan aktif dalam organisasi secara bersamaan.
Sekali lagi ini adalah sebuah pilihan yang harus diambil. Apakah kita ingin bertahan dalam keadaan kita saat ini atau merubah paradigma untuk kemudian keluar dari “zona nyaman”. Tidak ada yang bisa kita lakukan jika kita masih menempatkan kuliah dan organisasi dalam posisi yang berseberangan. Mengubah mindset “kuliah untuk kerja” dengan “kuliah untuk hidup yang lebih baik”. Melihat kuliah dengan spektrum yang lebih luas serta memulihkan citra mahasiswa sebagai Agent of Social Control dengan menaklukan hedonisme dikalangan mahasiswa itu sendiri.
Sekian tulisan ini dan terimakasih atas perhatian pembaca yang membaca tulisan ini dari awal sampai selesai, tulisan ini masih bersifat subjektif dan mungkin masih banyak sekali yang perlu di diskusikan dan dikoreksi, tanpa mengurangi rasa hormat jika ada pembaca yang tertarik berdiskusi tentang tulisan ini atau kontra dengan opini yang di sampaikan penulis, kita bisa ngopi-ngopi santai bertukar pikiran hehe.
Rizwan Handika
Mahasiswa
Discussion about this post